Menu

Senin, 12 Juli 2010

Mengasah Empati dan Simpati

Sering kali seseorang menilai dengan parameter subjektif dan melihat orang lain dengan kacamata kuda sehingga tidak jarang salah memahami dan menyikapi peristiwa secara tidak arif. Hal itu karena minimnya kesadaran empati dalam memahami kelemahan, kesalahan, kekurangan, kejahilan dan kenaifan orang lain yang sebenarnya boleh jadi merupakan ujian kepekaan dan kejelian dalam mendulang hikmah dan pelajaran di balik berbagai peristiwa yang dilakoni orang lain tadi, alih-alih menjulurkan simpati. Empati menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Simpati dalam KBBI diartikan sebagai:

1. rasa kasih; rasa setuju (kepada); rasa suka
2. keikutsertaan merasakan perasaan (senang, susah, dsb) orang lain: rakyat yang menderita akibat bencana alam itu mendapat simpati dari berbagai kalangan.
Suatu ketika para sahabat yang sedang berada di masjid Nabawi terusik kesyahduan dzikir mereka dan spontanitas bereaksi emosional tatkala seorang laki-laki Arab badui tiba-tiba berulah kencing di dalam masjid yang saat itu lantainya masih berupa tanah. Demi melihat situasi panas tersebut Rasulullah saw dengan penuh empati dan kelembutan menyikapi dan meluruskan peristiwa tesa dan antitesa sikap reaksi berang sahabat dan aksi bodoh Arab badui tersebut. Beliau memerintahkan para sahabat untuk bersabar dan membiarkan Arab badui menyelesaikan hajatnya serta meminta mereka menyiram bekas kencingnya agar merembes ke tanah dan hilang najisnya. Setelah situasi reda dan dapat diatasi, Rasulullah segera memanggil mereka semua. Beliau memberikan bimbingan kepada para sahabat tentang sikap empatik yang akan membawa hikmah yaitu dengan memaklumi ketidaktahuan Arab badui tersebut, menyadari reaksi kesabaran akan dapat menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru.
Para sahabat akhirnya mengerti bahwa sikap empati yang membuahkan solusi masalah dengan menyiram dan membersihkan kencing sebagai pelajaran bagi si badui bahwa perbuatannya tidak benar yang telah mengotori tempat yang seharusnya dijaga kesuciannya. Selain itu, mereka menyadari bahwa bersabar menanti selesainya kencing si badui akan menghindari tiga mudharat yakni gusarnya si badui yang merasa terusik hajatnya, menyakiti saluran kencing si badui yang terganggu kelancarannya, dan meluasnya area najis akibat kepanikan si badui dalam menuntaskan hajatnya. Kepada si badui Nabi saw memberikan pemahaman secara halus bahwa perbuatannya tidak benar karena telah kencing di masjid dan itu tidak pada tempatnya sebab masjid dibangun sebagai tempat suci untuk dzikrullah dan shalat. Jelang mendapat penjelasan empatik Nabi, si badui sangat terpesona padanya dan sebaliknya masih kecewa dengan sikap berang sahabat seraya berdoa “Ya Allah masukkanlah aku dan Muhammad ke dalam surga dan janganlah Engkau masukkan ke dalamnya seorang pun selain kami.” Lagi-lagi demi mendengar doa yang tidak arif itupun nabi menyikapinya dengan penuh empati demi melihat kenaifannya tanpa membodoh-bodohkannya seraya meluruskan doanya: “Wahai kamu, ketahuilah bahwa surga itu sangat luas dan jika kita berdua saja yang masuk niscaya akan sangat kesepian”.
Pada saat yang lain, kita saksikan sejarah Nabi yang telah membuktikan samudera jiwa empati tatkala seorang laki-laki dengan langkah tergesa-gesa menghadapnya. Nafasnya masih tersengal, turun-naik, sementara jantungnya berdetak cepat. Rasulullah menyambutnya dengan penuh santun. “Celaka bagi kami, wahai Rasulullah,” begitu ia mengawali pembicaraannya. “Aku telah melakukan hubungan suami-istri di siang Ramadhan.” Nampaknya lelaki ini sadar bahwa perbuatannya telah melanggar syariah, yang karenanya ia harus menerima sanksi Rasulullah kemudian memberi petunjuk agar lelaki itu memerdekakan seorang budak. Lelaki tersebut menggelengkan kepala tanda tidak sanggup melaksanakannya.
Maka Rasulullah memberikan alternatif kedua, yaitu puasa selama dua bulan berturut-turut. Lagi-lagi lelaki tersebut menggeleng. Ia merasa tidak mampu untuk melakukannya. Dalam hatinya ia berkata, ‘Jangankan dua bulan, sedang yang satu bulan saja sudah dilanggar.’ Rasulullah menawarkan solusi ketiga, yaitu memberi makan 60 orang fakir miskin. Untuk yang ketiga kalinya ia mengatakan tidak sanggup. Ia katakan bahwa untuk kebutuhan makan sehari-hari saja sudah sering mendapati kesulitan. Apalagi harus memberi makan kepada orang lain.
Dengan penuh kasih sayang Rasulullah kemudian memanggil istrinya agar mengambil bahan makanan yang masih tersisa di rumahnya hingga cukup untuk menebus kewajiban lelaki tersebut. Sambil memberikannya, Rasulullah berpesan agar bahan makanan itu dibagikannya kepada fakir miskin di kampungnya. Dengan sedikit menahan malu, lelaki tersebut berkata polos, “Di kampung kami, orang yang paling miskin adalah saya sendiri.”Kepolosan lelaki itu ternyata membawa berkah tersendiri. Rasulullah menyampaikan agar bahan makanan itu diterima dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan anak istrinya. Ia pulang dengan perasaan suka cita. Selain mendapatkan bahan makanan, puasanya juga sudah tertebus. Dua keuntungan sekaligus diperoleh, keuntungan materi sekaligus keuntungan ukhrawi.
Kisah seperti ini rasanya sulit dimengerti untuk ukuran sekarang. Bagaimana seorang pemimpin dapat berlaku begitu santun. Sulit ditemukan sosok pemimpin yang luwes, lapang dada, santun, dan sabar memenuhi segala tuntutan ummatnya sebagaimana Rasulullah. Andaikata menemui lelaki seperti dalam kisah di atas, barangkali kita akan menghardiknya dengan kata-kata kasar, “Sudah tahu tidak mampu menebus dendanya, kenapa kamu sampai melanggar?” Atau kita katakan, “Pokoknya itulah ketentuan syariat, titik. Dengan cara apapun harus kamu upayakan. Pokoknya nggak mau tahu salahmu sendiri melanggar. Rasain sendiri akibatnya habis macam-macam saja.” Jangankan ikut membantu meringankan bebannya dengan memberi bahan makanan, memberi santunan dengan kata-kata yang halus dan menghibur saja mungkin sulit kita lakukan.
Di sinilah terletak rahasia sukses kepemimpinan Rasulullah. Beliau bisa bersikap tegas, tapi lebih sering bersikap lemah-lembut kepada ummatnya. Justru sikap yang terakhir itu lebih dikedepannya dalam menghadapi setiap persoalan. Beliau bisa marah, tapi sikap pemaafnya jauh lebih luas dari segalanya. Apalagi jika berhadapan dengan sesama ummat Islam. Allah sendiri menegaskan: “Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka.” (QS. al-Fath: 29)
Itulah sebabnya Rasulullah sangat dicintai ummatnya. Saking cintanya, dalam sebuah bai’at, seorang lelaki pernah mengatakan, “Andaikata kita menyeberangi lautan dengan kapal, kemudian di tengah lautan kita diperintahkan oleh Rasulullah untuk mencebur ke laut, pasti kita lakukan.” Kepada ummatnya, Rasulullah selalu mengedepankan sifat kasih sayang. Beliau berusaha mempermudah ummatnya dalam melaksanakan syariat agama. Bukan sebaliknya, memberi beban yang akhirnya tak mampu dipikul oleh mereka.
Ketika Isra’ dan Mi’raj Rasulullah menyampaikan usulan kepada Allah agar ummatnya diberi beban yang tidak terlalu berat dalam menunaikan ibadah shalat. Akhirnya ditetapkan shalat lima kali dalam sehari, sebagai suatu kewajiban yang sangat ringan. Jika masih ada yang merasa keberatan, barangkali nafsunya yang terlalu dominan.
Suatu saat beliau hendak mewajibkan bersiwak (gosok gigi) bagi kaum muslimin setiap hendak mendirikan shalat. Akan tetapi karena takut kewajiban itu memberatkan, maka akhirnya tidak beliau undangkan, meskipun bersiwak itu manfaatnya sangat besar dalam upaya menjaga kesehatan. Bagi yang bersiwak disiapkan pahala besar, sementara yang tidak melakukannya juga tidak diancam apa-apa. Akhirnya bersiwak hanya menjadi anjuran. Sikap demikian itu sejalan dengan ketentuan Allah, yang dinyatakan dalam al-Qur’an: “Allah menginginkan kemudahan bagimu, dan tidak menginginkan kesulitan bagimu.” (QS. al-Baqarah: 185)
Ketika Rasulullah mengutus dua orang sahabat, yaitu Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman untuk berdakwah, beliau berpesan, “Gembirakanlah dan jangan kau takut-takuti. Mudahkanlah dan janganlah engkau mempersulit.”
Tugas seorang da’i, muballigh, ustadz atau guru agama adalah memberi jalan kemudahan bagi ummat Islam agar dapat menjalankan perintah Islam dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, seorang juru dakwah wajib mempunyai bekal ilmu yang cukup, di samping sikap yang arif. Ilmu yang luas menjadikan seseorang lebih bisa bersikap luwes dan lapang dada. Sementara ilmu yang hanya pas-pasan biasanya mendorong seseorang bersikap keras dalam menghadapi suatu persoalan.
Luasnya ilmu dan wawasan akan nampak dalam sikapnya yang toleran. Dalam menghadapi persoalan ia tidak hanya menyodorkan satu alternatif, tapi tersedia berbagai pilihan. Orang lain diberi kebebasan untuk memilih sesuai kadar iman dan kemampuannya.
Allah sendiri ketika menyerukan hamba-Nya untuk bertaqwa, Dia menggunakan dua kalimat perintah. Pertama, Allah berfirman, “Bertaqwalah kamu sekuat kemampuanmu.” Kedua, Allah berseru, “Bertaqwalah kalian dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian mati sehingga kalian benar-benar Islam.” Yang pertama ditujukan kepada mereka yang kadar imannya masih dalam proses penyempurnaan, sementara firman kedua ditujukan kepada mereka yang sudah siap menerima segala perintah dan larangan-Nya tanpa reserve.
Nabi saw juga menerapkan hal sama. Dalam menghadapi satu pertanyaan yang diajukan oleh dua orang berbeda, jawaban Nabi juga selalu berbeda, disesuaikan dengan kadar akal dan imannya. Nabi tidak memaksakan seseorang menerima hal yang sama, padahal kemampuan mereka untuk menerimanya sangat jauh berbeda. Di sini Rasulullah sangat memperhatikan “proses”, bukan hasil semata-mata.
Dalam kaitannya dengan persoalan di atas, dianjurkan kepada juru dakwah, guru agama, atau muballigh agar lebih bijak dalam menyampaikan persoalan-persoalan agama. Jika ada dua pilihan, kenapa harus kita pilihkan satu saja? Bukankah mereka juga berhak memilih sesuai dengan kondisi dan keadaannya?
Bahkan dalam hal ini, jika ada dua perkara yang sama-sama diperbolehkan oleh syariat, hendaknya kita memilih yang termudah. Kita tidak boleh bersikap terlalu keras, karena yang demikian itu justru menyimpang dari sunnah. Sikap tasyaddud, ekstrim, dan berlebih-lebihan sebagai cerminan kerasnya hati dan keringnya rasa empati sama sekali tidak disukai oleh Rasulullah. Selama tidak mengandung dosa, Rasulullah lebih memilih yang termudah dari dua perkara yang sama-sama boleh, ibahah. Sikap itulah yang hendaknya kita pilih, bukan sebaliknya. Dalam sebuah pesannya, beliau bersabda: “Hendaklah kamu bersikap lemah-lembut dan jangan bersikap kasar. Sesungguhnya, tidaklah sikap lemah lembut itu ada pada sesuatu kecuali menghiasinya, dan tidak pula ia lepas dari sesuatu kecuali mengotorinya.” (HR Muslim)
Sikap para elit, tokoh, ulama, da’i, muballigh, pemimpin dan guru yang lebih menyukai sesuatu yang berat dan minim jiwa empati dalam menjalankan dan menegakkan risalah kebenaran pada dasarnya tidak sesuai dengan sunnah, keluar dari teladan Rasulullah saw. Sikap demikian sesungguhnya lebih terkait dengan kejiwaan. Itulah sebabnya, seorang muslim dianjurkan untuk terus-menerus melakukan pembersihan hati, tazkiyah, agar memiliki jiwa yang bersih, dada yang lapang, dan hati yang dipenuhi rasa kasih dan sayang.
Jika ada benih-benih keinginan untuk mempersulit atau memperberat suatu perkara, hendaknya para da’i segera meminta perlindungan dari Allah, memperbaharui iman, dan mensucikan hati dari sifat dendam dan iri hati. Jauhkanlah diri dari tipu daya setan. Sesungguhnya kita memerlukan ruh dari langit sehingga dapat menempuh jalan dien ini dengan mudah. Hal itu dapat kita peroleh jika kita memenuhi rongga dada kita dengan sifat kasih sayang, terutama pada diri sendiri. Caranya, jangan memaksakan diri, tidak mengangkat beban di luar kemampuan kita yang sebenarnya. Jika terhadap diri sendiri, kita sudah bersikap kasih dan sayang, maka kepada orang lain juga kita kembangkan sikap yang sama. Kasih sayang itu akan mengarahkan kita kepada sikap yang menghormati kemampuan dan keterbatasan orang lain. Jika dengan semua orang kita harus bersikap empati termasuk dalam merealisasikan dan menyebarkan pemikiran dan pemahaman kita, maka dengan orang-orang terdekat yang kita kasihi seharusnya lebih sensitif dan peka dalam empati dan tidak asal memaksakan kehendak dan ego.
Stephen R. Covey (1999) mengingatkan kita untuk memahami implementasi makna empati secara benar. Kebanyakan dari kita tidak berusaha untuk memahami dahulu, tetapi sebaliknya ingin dipahami dahulu posisi dan pemikiran kita. Atau jika kita ingin berusaha memahami, kita sering sibuk mempersiapkan tanggapan kita dan reaktif saat kita menyaksikan kejadian, menghadapi sikap atau mendengarkan pernyataan orang lain. Jadi, kita lebih sering mengevaluasi, menyarankan, menyelidiki, atau menerjemahkan dari sudut pandang kita sendiri sebelum memahami konsideran sikap dan peristiwa serta kesejatian masalah. Dan tidak satu pun dari ini adalah tanggapan empatik yang memahami. Semuanya berasal dari kesejatian diri kita, dunia kita dan nilai-nilai kita secara searah.
Dalam rangka mengasah empati itulah diperlukan riyadhah melatih diri dalam memberi petunjuk kepada siapa saja yang mendapati kesulitan, memaafkan atas semua kekhilafan, berlapang dada atas segala kealpaan, menuntun orang ke jalan yang terang tanpa harus mencari-cari kesalahan dan membuka aibnya. Bukankah Allah selalu berpesan: “Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl:125), dan telah menegaskan: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat:33). []



Dakwatuna.com

Tidak ada komentar: